Laman

Kamis, 03 September 2015

Karyawan Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) berunjuk rasa ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara

Puluhan karyawan Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) berunjuk rasa ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk mengadukan kebocoran soal ujian nasional yang disebabkan kebijakan yang salah dari manajemen perusahaan tersebut.

"Direksi PNRI menunjuk atau subkontrak ke pihak lain, untuk melakukan pencetakan soal-soal UN. Padahal rekanan yang ditunjuk tidak memiliki izin standar perusahaan percetakan yang aman," kata Ketua Serikat Karyawan (Sekar) PNRI A Mutiasari seusai berunjuk rasa di Jakarta, Rabu (26/8).

Mutiasari mengatakan persoalan kebocoran soal UN akibat subkontrak ke pihak lain itu sudah dilaporkan dan ditangani Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Sekar PNRI mengadukan persoalan itu ke Kementerian BUMN sebagai salah satu tindakan manajemen yang tidak menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.

Menurut Sari, masih banyak hal lain yang mengindikasikan manajemen tidak menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. "Kinerja perusahaan memprihatinkan karena beban pemasaran justru meningkat 23,4 persen, sementara pendapatan usaha justru menurun 61 persen. Belum lagi biaya konsultan untuk menggaji staf khusus direktur utama yang naik 60,8 persen," tuturnya.

Sari menduga direksi juga melakukan nepotisme dalam merekrut staf khusus karena yang diangkat adalah orang-orang yang dekat secara pribadi dengan direktur utama dan cenderung berasal dari daerah tertentu.

"Perekrutan yang dilakukan juga tidak sesuai dengan perjanjian kerja bersama (PKB) antara karyawan dengan perusahaan. Jangankan menjalankan PKB, manajemen berkali-kali menolak diadakannya perundingan PKB. Padahal PKB yang ada saat ini telah habis masa berlaku sejak 2 Juni 2015," katanya.

Sekar PNRI telah mengirim surat sebanyak dua kali, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan, bahkan direktur utama tidak pernah mau bertemu dengan pengurus Sekar PNRI, katanya. Selain itu, Sekar PNRI juga menilai manajemen menolak untuk berkomunikasi langsung dengan karyawan sehingga iklim hubungan industrial tidak kondusif. Direktur utama justru menunjuk pejabat penghubung untuk bertemu dengan karyawan dan Sekar PNRI.

"Adanya pejabat penghubung merupakan bentuk pemborosan dan memperpanjang alur birokrasi. Apalagi, personel yang ditunjuk sebagian besar merupakan orang luar yang diangkat sebagai staf khusus dan tidak ada dalam struktur perusahaan," kata Sari.(sumber : republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar